Basuki (ayah), Meti (ibu), Hatta, Aalaa
Petualangan dimulai semenjak kami memutuskan anak kami keluar dari sekolah mulai kelas 3 SD. Setelah berbagai pertimbangan dan tentu saja mempersiapkan mental kami, akhirnya kami memutuskan anak kami, Hatta, untuk homeschooling.
Ternyata, mempersiapkan mental kami sebagai orang tua lebih sulit daripada anak. Anak sih nurut-nurut saja mau homeschooling atau public schooling. Pertanyaan-pertanyaan dan kekhawatiran justru muncul dari orang-orang terdekat kami, sama seperti yang dialami pelaku-pelaku homeschooling lainnya. Yach, pertanyaan pasti seputar bagaimana ijazahnya, sosialisasi anak, dan lain sebagainya. Untungnya, kami sudah membaca tips-tips menghadapi pertanyaan seperti itu: jawab saja ala kadarnya. Yang penting kami sendiri yang
madhep mantep homeschooling. Kalau perlu, kasih saja buku soal homeshooling, suruh dia baca sendiri jawaban-jawaban pertanyaannya :).
Oia, kenalan dulu. Nama saya Basuki Rahmat, istri saya Meti Riawati, anak saya yang laki-laki Muhammad Hatta (9), dan anak perempuan saya Aalaa Husaina (3,5). Sejak awal pernikahan, kami memang merencanakan
homeschooling untuk anak-anak kami. Sambil mempersiapkan mental kami, kami sempat menyekolahkan anak pertama kami sampai kelas 2 SD. Sambil terus mempelajari seluk-beluk
homeschooling dengan membaca buku-buku dan
browsing Internet.
Mengapa kami memilih homeschooling?
Di era menjamurnya sekolah-sekolah
fullday, kami justru berpikir
alangkah kasihan anak-anak seharian di sekolah, di mana seharusnya sudah
waktunya bertemu ayah bunda di rumah. Kami memilih
homeschooling karena kami ingin lebih fleksibel dalam mendidik anak, lebih banyak waktu berinteraksi dengan anak. Ini soal pilihan saja, tidak bermaksud mengunggulkan atau merendahkan salah satunya---
homeshcooling atau
public shool. Bagi kami pribadi, lebih baik kami mengambil alih tanggung jawab atas pendidikan anak-anak kami sendiri daripada menyerahkannya kepada
public school.
Bagaimana kami mengawali homeschooling?
Kami hampir mati kutu semenjak hari di mana saya benar-benar mengambil Hatta dari sekolahnya. Kami bingung memulai dari mana. Angan-angan yang sudah ada semuanya buyar. Stress sendiri. Nggak ada ide! Rencana yang muluk-muluk di angan-angan terasa hilang menguap.
Saya perlu inspirasi. Akhirnya kami---saya, istri, dan anak-anak--- pergi ke toko buku Gramedia. Membaca-baca buku di sana. Akhirnya saya membeli buku pelajaran untuk siswa SD kelas 3: Matematika, Bahasa Indonesia, Basa Jawa, dan Bahasa Inggris. Dan buku komik Sains. Itu "sisa-sisa" angan-angan yang masih ada di pikiran "waras" kami saat itu. Saya membeli buku-buku itu dengan mempertimbangkan minat yang saya ketahui pada anak sulung saya Hatta.
Sedang untuk anak saya yang satunya, Aalaa Husaina, baru saja masuk
pre-school, sebelum akhirnya saya cabut juga setelah masuk sekira satu bulan.
Setelah belanja buku-buku, saya mulai mengatur jadual belajar. Membuat kesepakatan dengan anak-anak. Alih-alih berjalan tertib terstruktur seperti di sekolah, waktu belajarnya masih seenaknya setelah berjalan tiga bulan sejak cabut dari sekolah. Yang dipelajari cuma Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Kapan belajarnya? Kapan-kapan. Di mana? Di mana saja: di teras rumah, di kamar tidur, di taman, di motor.
Belajar di motor? Ya, naik motor sambil me-review vocabulary bahasa Inggrisnya, misalnya. Atau cek hafalan Qurannya, cek perkalian dasar, dan apa saja yang penting belajar.
Jadi, kami memulainya ya mengalir saja tanpa konsep, sambil terus memperbaiki diri, ikut komunitas. Dari situ kami saling berbagi informasi. Mengadakan
event bersama.
Ikuti terus aktivitas-aktivitas
homeschooling keluarga saya di blog ini. Saya juga berbagi video di channel Youtube. Silakan subcribe di channel Basuki Rahmat.#